Twitter
RSS

Kamis, 14 Oktober 2010

Kehidupan Sosial

Bagi sebagian orang terutama mereka yang berada dalam kecukupan materi kehidupan dunia memang terasa sangat menyenangkan. Indah dan penuh kebahagiaan sehingga terasa sangat sulit dan berat bagi mereka untuk sekadar berbagi dengan saudara mereka yang jauh dari kata cukup. Mereka risih untuk sedikit saja memberi rasa bahagia pada yang lain. Mereka takut ada yang berkurang dari materi mereka.


Di samping itu ternyata kehidupan dunia bisa menjadi cobaan dan ujian bagi mereka yang hidup serba kekurangan.
Berada dalam garis kemiskinan. Hal itu pun terasa menjadi lebih menyakitkan tatkala mereka secara struktural tidak diberi kesempatan untuk bisa lebih baik dan lebih sejahtera. Bagi mereka dunia memang sedimikian sulit dan pedih. Meskipun hal tersebut tak pernah mereka harapkan.

Potret masyarakat yang demikin itu telah benar-benar nyata dalam kehidupan bangsa ini, disadari atau tidak, secara perlahan tapi pasti masyarakat bangsa ini mulai mengarah pada fenomena demikian. Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa bangsa kita sudah terasing dan teralienasi dari budaya, karakter, dan jati diri bangsa yang sebenarnya.

Di awal kemerdekaan bangsa ini kita masih lekat dengan budaya gotong royong dalam berbagai sendi kehidupan. Tapi, kini budaya gotong royong seolah hanya wacana tanpa realita dan kata tanpa makna.
Secara perlahan bangsa ini mulai menempuh dan memperagakan budaya individualisme sebagai bias dari Kapitalisme.

Jika dulu sebelum bangsa kita bersentuhan dengan budaya asing, kata dan budaya gotong royong begitu lekat dengan keseharian bangsa ini. Bangsa ini memiliki rasa simpati, empati, senasib dan sepenanggungan.
Akan tetapi saat ini ketika kita mengamati kehidupan bangsa ini maka yang kita temukan hanya gerak hilir mudiknya manusia yang egois, individualis, dan tak memiliki rasa peduli pada sesama.

Bagi mereka yang menaiki kendaraan mewah dan nyaman tak pernah tersentuh ketika berpapasan dengan ratusan anak jalanan yang mengais rezeki hanya untuk makan dari belas kasih manusia yang masih punya nurani. Saya yakin sebenarnya mereka pun tidak ingin berada di jalan-jalan raya ketika terik matahari begitu menyengat.

Mereka pun ingin berada dalam keteduhan. Saya yakin mereka tidak mau kedinginan karena guyuran hujan. Tapi, nasib telah memaksa mereka demikian karena mereka tak pernah diberi kesempatan.

Tak hanya kehidupan sosial yang teralienasi dan terasingkan dari budaya gotong royong. Tapi, juga kehidupan politik kita. Dewasa ini perpolitikan di negeri sudah semakin kotor. Jauh dari kata dan budaya gotong royong. Politik hanya sekedar alat dan sarana untuk mengumbar nafsu dan syahwat kekuasaan sehingga tak jarang kita menemukan fenomena orang yang bersedekah, memberi santunan pada rakyat kecil, hanya untuk jabatan dan kekuasaan.

Dalam kehidupan perekonomian pun tak jauh beda. Sistem dan pola ekonomi bangsa kita sudah sangat jauh dari kata dan budaya gotong royong. Ekonomi bagi mereka hanya sebatas bagaimana mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan bagaimana meningkatkan kesejahteraan pribadi dan keluarga.
Bagi mereka orang kecil dan miskin bukan tanggungan dan kewajiban bagi mereka untuk menyantuninya.
Sehingga dewasa ini kita menemukan fenomena perusahaan bernama koperasi rakyat tapi dalam prakteknya tak jauh beda dengan rentenir. Hal demikian sejujurnya merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa bangsa ini sudah semakin jauh dari karakter, budaya, dan jati diri bangsa yang sebenarnya.

Sebagai seorang santri yang sedang menimba ilmu di pesantren saya semakin prihatin dan sedih tatkala fenomena demikian ternyata menimpa umat Islam. Mayoritas bangsa ini adalah umat Islam. Jika demikian adanya maka umat Islam di Indonesia hanya sekedar nama dan kuantitas tanpa prestasi dan kualitas. Mereka mangaku beragama islam tapi perilaku dan sikap mereka begitu jauh dari ajaran Islam.

Sebenarnya beberapa abad yang lalu sebelum Karl Marx mengembangkan konsep Sosialisme Islam telah lebih mengajarkan pada umatnya untuk tidak sekedar soleh secara personal. Tapi, juga soleh secara sosial. Islam yang dibangun di atas lima konsep dasar, yaitu: Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji sebenarnya mengajarkan pada pemeluknya untuk tidak hanya bergelut dengan dimensi ilahiyah (ketuhanan) tapi juga bergelut dalam dimensi Insaniyah (kemanusiaan).

Salah satu konsep Islam yang mengajarkan dimensi ilahiyah dan insaniyah adalah shalat. Bagi saya shalat yang sering diartikan sebagai "doa" (etimologi) dan "perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam" (terminologi) sejatinya memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi. Salam yang merupakan gerakan terakhir dalam ritual shalat sebenarnya memiki filosofis yang sangat tinggi. Salam sendiri berarti keselamatan.
Hal ini merupakan indikasi bahwa seorang Muslim harus senantiasa menebarkan keselamatan dan kesejahteraan.

Ada pun gerakan menengok ke kanan dan ke kiri ketika mengucapkan salam sebenarnya mengajarkan bahwa keselamatan dan kesejahteraan tidak hanya untuk pribadi. Tapi, juga harus ditebarkan pada lingkungan sosial. Di sinilah shalat mengajarkan konsep kepeduliaan sosial sehingga ketika seseorang telah selesai dari shalat sebenarnya ia dituntut untuk menegakkan ajaran dan filosofis shalat dalam keseharian.

Dalam Al-Quran perintah shalat tidak diiringi dengan "mengerjakan" tapi "mendirikan". Di samping itu, dalam Islam perintah shalat selalu digandengkan dengan perintah Zakat yang bernuansa sosial. Hal ini membuktikan bahwa kesalehan individual harus selalu beriringan dengan kesalehan sosial.
Oleh : Jejen Jamaludin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Life is struggle, struggle for survival, the struggle to find happiness in the world and the Hereafter.